Siraso sang Dewi Bibit Suku Nias
Buruti Siraso (Siraso) adalah putri dari Raja Balugu Silaride Ana’a di Teteholi Ana’a. Balugu Silaride Ana’a adalah keturunan lebih dari sepuluh setelah Balugu Luo Mewöna. Siraso memiliki saudara kembar laki-laki bernama Silögu Mbanua (Silögu).
Di Teteholi Ana’a, Siraso rajin mendatangi rakyat saat penaburan bibit sehingga tanaman subur dan berbuah lebat. Sedang Silögu gemar mendatangi rakyat saat panen sehingga bulir-bulir panenan banyak dan bernas.
Ketika memilih jodoh, Siraso mengidamkan suami yang mirip kembarannya, demikian pula Silögu ingin beristri seorang wanita persis Siraso. Untuk mencari jodohnya, Silögu pergi berkelana. Sementara Siraso diturunkan ayahnya ke muara sungai Oyo. Anak kembar itu dipisah agar tidak terjadi incest (kawin sumbang). Dari muara sungai Oyo, Siraso meneruskan perjalanan ke hulu, tiba di suatu dataran rendah yang kemudian bernama Hiyambanua, dan bermukim di situ.
Setelah setahun berkelana Silögu pulang. Di rantau dia tidak menemukan idamannya, di Teteholi Ana’a dia juga tidak bertemu kembarannya. Menurut ayahnya, Siraso telah meninggal dunia. Betapa gundah-gulana hati Silögu. Akhirnya, Silögu mohon diturunkan ke bumi. Silögu kebetulan diturunkan di muara sungai Oyo. Dia berjalan ke hulu sungai, dan tiba di Hiyambanua. Di sana dia bertemu seorang wanita yang mirip adik kembarnya. Sang wanita itu juga melihat Silögu mirip abang kembarnya.
Dua insan itu akhirnya kawin. Setelah menjadi pasangan suami-istrii barulah Silögu dan wanita itu (yang ternyata adalah Siraso) mengetahui bahwa mereka saudara kembar. Apa boleh buat, Maha Sihai Si Sumber Bayu telah menjodohkan mereka.
Di bumi Nias Siraso dan Silögu tetap gemar mengunjungi para petani. Doa dan berkat mereka dibutuhkan untuk bibit dan untuk panen. Setelah mereka meninggal dunia, orang-orang membuat patung Siraso (Siraha Woriwu) dan patung Silögu (Siraha Wamasi) untuk memanggil arwah mereka pada waktu para petani turun menabur bibit dan panen. Siraso dikenal sebagai Dewi Bibit (Samaehowu Foriwu), Silögu dikenal sebagai Dewa Panen (Samaehowu Famasi).
Pada waktu mulai menabur bibit, masing-masing petani membawa bibit tanaman, diserahkan kepada ere (ulama agama suku) agar bibit tersebut diberkati oleh Dewi Bibit. Upacara pemberkatan ini mengorbankan babi. Ere memimpin doa pemujaan Siraha Woriwu. Syair hoho Memuja Dewi Bibit (Fanumbo Siraha Woriwu) diawali:
He le Siraso samo’ölö, he le Siraso samowua;
soga möi moriwu tanömö, möiga mangayaigö töwua;
mabe’zi sarasara likhe, matanö zi sambuasambua.
(Hai Siraso Sumber hasil, hai Siraso sumber buah.
Kami tiba, menyemai bibit, kami tiba menyemai tampang.
Kami semai tunggal berlidi, kami semai biji satuan.)
Setelah itu syair hoho berisi harapan agar bibit tanaman:
diberi akar menembus bumi, diberi batang naik mengatas
mayangnya dimatangkan oleh terik, buahnya dimatangkan oleh panas
terlindung dari serangan: tikus, walang sangit, celeng, monyet, hama, pipit
tidak diganggu arwah orang mati dan tidak dihanyutkan banjir
Selain harapan, syair hoho juga berisi janji (ikrar) yang harus ditepati:
Mabé wabaliwa mbalaki, mabé wabaliwa zemoa;
sumange woriwu tanömö, sumange woriwu töwua.
Andrö faehowu ya mo’ölö, andrö faehowu ya mowua.
(Akan kami bayar emas murni, dan kami membayar emas perada.
Persembahan bagi Dewi Bibit, persembahan bagi Dewi tampang.
Berkatilah agar ganda hasil, berkatilah agar berganda buah.)
Tidak dijelaskan bagaimana janji tersebut dilaksanakan, namun dalam pemujaan Dewa Panen disebutkan bahwa sebagian hasil panen harus dibagikan kepada: kaum miskin atau melarat, janda, anak yatim, dan anak yatim-piatu. Bila dilanggar akan membuat dewa marah dan merusak hasil pertanian.
Demikianlah cerita Dewi Bibit (dan Dewa Panen) dalam buku Ama Rozaman. Kisah Siraso dan Silögu ini pada zamannya merupakan mite. Para ahli menyebutnya mitos teogonis (mite terjadinya dewa-dewi), dianggap benar-benar terjadi, dianggap suci (sakral), dan diwariskan turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Nias tempo dulu.
Bacaan
Danandjaja, J., Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain, Grafiti Press, 1984.
Fries, E., Nias. Amoeata Hoelo Nono Niha, Zendingsdrukkery, 1919.
Hämmerle, J.M., Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi, Yayasan Pusaka Nias, 2001.
Harefa, F., Hikajat dan Tjeritera Bangsa serta Adat Nias, Rapatfonds Residentie Tapanoeli, 1939.
Mendröfa, S.W., Fondrakö Ono Niha, Agama Purba – Hukum Adat – Mitologi – Hikayat Masyarakat Nias, Inkultra Fondation Inc, 1981.
Zebua, F., Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli, 1996.
Zebua, V., Ho Jendela Nias Kuno – Sebuah Kajian Kritis Mitologis, Pustaka Pelajar, 2006.
http://niasonline.net/2007/11/28/mite-siraso-dewi-bibit/comment-page-1/
Siraso sang Dewi Bibit Suku Nias | Cerita Rakyat Indonesia.
--Posted by - Cerita Rakyat Indonesia -
- Cerita Rakyat Indonesia - Updated at: 07.37