Kebutuhan hidup mereka dapat tercukupi dari hasil menanam berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran di kebun. Pada suatu hari, sang Istri terserang sebuah penyakit aneh. Sudah banyak tabib yang telah mengobatinya, namun penyakitnya tak kunjung sembuh hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sejak itu, kehidupan keluarga tersebut menjadi berantakan dan tak terurus lagi.
Sang Ayah dan kedua putra dan putrinya terus terlarut dalam kesedihan. Sang Ayah menjadi pemurung dan suka bermalas-malasan, sedangkan kedua anaknya kelihatan bingung, tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Melihat kondisi tersebut, para sesepuh dusun berusaha untuk membujuk mereka agar tidak larut dalam kesedihan dan sang Ayah kembali mencari nafkah seperti biasanya.
“Sudahlah, Pak! Hilangkanlah kesedihanmu itu dan kembalilah bekerja seperti biasanya! Lihatlah kedua anakmu itu, mereka semakin kurus karena kurang makan!” ujar seorang sesepuh dusun kepada sang Ayah.
Rupanya, nasehat-nasehat tersebut tidak pernah ia hiraukan.
Keadaan tersebut berlangsung hingga satu musim, yaitu sejak musim tanam hingga musim panen. Seperti biasanya, setiap musim panen tiba, penduduk dusun tersebut mengadakan pesta adat yang diisi dengan beraneka macam pertunjukan ketangkasan dan kesenian selama tujuh hari tujuh malam.
Kemeriahan pesta ternyata belum mampu menghibur hati keluarga tersebut, terutama sang Ayah. Tapi, begitu mendengar kabar bahwa dalam pertunjukan seni tersebut ada seorang gadis cantik yang pandai dan gemulai menari, hati sang Ayah langsung tergerak ingin menyaksikan pertunjukan tersebut. Dengan penuh semangat, ia berjalan mendekati tempat pertunjukan di mana gadis itu akan menari.
Ia sengaja berdiri paling depan agar dapat menyaksikan tarian serta wajah gadis itu dengan jelas. Beberapa saat kemudian, pertunjukan pun dimulai. Perlahan-lahan gadis cantik itu memasuki panggung seraya memainkan tariannya. Gerakan tubuhnya yang lemah lembut dan gemulai benar-benar mengundang decak kagum para penonton.
Lain halnya dengan sang Ayah, ia hanya sesekali tersenyum. Pandangan matanya senantiasa tertuju kepada wajah cantik gadis itu tanpa bergeming sedikit pun. Suatu saat, tiba-tiba pandangan gadis itu tertuju kepadanya sambil melemparkan senyum manisnya.
Pada saat itulah, jantung sang Ayah berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada gadis itu, begitu pula sebaliknya. Usai pertunjukan, para penonton membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Sementara sang Ayah tidak beranjak dari tempatnya berdiri, karena ingin bertemu dengan gadis cantik itu.
Tak berapa lama kemudian, gadis itu turun dari panggung dan menghampirinya. Setelah berkenalan, mereka pun mengungkapkan perasaan masing-masing dan bersepakat untuk menikah. “Abang sudah mempunyai dua orang anak. Apakah Adik bersedia untuk membantu Abang merawat mereka?” pinta sang Ayah kepada gadis penari itu.
“Tentu saja, Bang! Adik berjanji akan menyayangi mereka sama seperti anak kandung Adik sendiri,” jawab gadis itu. Setelah mendapat restu dari para sesepuh kampung, akhirnya mereka pun menikah. Pernikahan mereka dilangsungkan sepekan setelah pesta adat tersebut.
Setelah menikah dengan gadis itu, sang Ayah tidak pernah lagi murung dan bermalas-malasan, dan begitu pula kedua anaknya. Keluarga itu telah menemukan kembali suasana kedamaian yang pernah dulu
mereka rasakan.
Sang Ayah kembali rajin bekerja di kebun dengan dibantu oleh anak laki-lakinya. Sedangkan istri barunya sibuk menyiapkan makanan di rumah dengan dibantu oleh anak perempuannya. Namun, baru beberapa bulan saja keharmonisan itu berlangsung, keluarga itu kembali diguncang prahara. Sang Ibu tiri ternyata mengingkari janjinya untuk menyayangi kedua anak tirinya.
Sifat dan perilakunya tiba-tiba menjadi benci kepada mereka. Ia sering memberi mereka sisa-sisa nasi. Sang Ayah yang mengetahui perilaku istrinya tersebut tidak dapat berbuat apa-apa karena ia sangat mencintainya.
Sejak itu, segala urusan rumah tangga ditangani oleh sang Ibu tiri. Setiap hari ia menyuruh kedua anak tirinya mencari kayu bakar di hutan, bahkan ia sering menyuruh mereka untuk mengerjakan hal-hal di luar kemampuan mereka. Pada suatu hari, sang Ibu menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan dengan jumlah cukup banyak.
“Hai, pemalas! Carilah kayu bakar ke hutan! Kalian harus mengumpulkan kayu bakar yang jumlahnya tiga kali lipat dari yang kalian peroleh kemarin. Ingat, jika kalian pulang sebelum mengumpulkan kayu sebanyak itu, maka kalian tidak akan mendapat makan hari ini!” ancam sang Ibu Tiri. “Maaf, Bu! Untuk apa kayu bakar sebanyak itu? Bukankah kayu bakar masih banyak? Kalau kayunya mau habis barulah kami mencarinya lagi,” tawar si anak laki-laki.
“Dasar anak pemalas! Rupanya, kalian sudah mulai berani membantah Ibu ya? Awas nanti saya laporkan kepada ayah kalian, bahwa kalian pemalas!” sang Ibu kembali mengancam kedua anak tirinya. Tanpa berkata apa-apa, si anak perempuan segera menarik tangan kakaknya. Ia menyadari bahwa ayah mereka telah dipengaruhi oleh sang Ibu Tiri.
“Sudahlah, Bang! Kita turuti saja perintah Ibu! Tidak ada gunanya kita membantah, karena kita tetap akan dipersalahkan,” ujar si anak perempuan dengan suara pelan. Setelah menyiapkan beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka ke hutan untuk mencari kayu bakar.
Setibanya di hutan, mereka segera mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya tanpa mengenal lelah. Namun, hingga hari menjelang sore, mereka belum mengumpulkan kayu bakar sebanyak yang diminta ibu tiri mereka.
Karena takut dimarahi, akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di tengah hutan. Mereka tidur didalam sebuah gubuk reot untuk berlindung dari cuaca dingin. Kedua orang kakak-beradik itu
baru dapat memejamkan mata ketika malam telah larut, karena perut mereka dibelit rasa lapar. Keesokan harinya, kedua anak itu kembali mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya.
Namun, ketika hari menjelang siang, kedua anak itu tiba-tiba tergeletak di tanah, karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar. Untungnya, ada seorang kakek yang sedang melintas di tempat itu dan segera menolong mereka. Kakek itu mengangkat mereka ke bawah sebuah pohon yang rindang seraya mengipas-ngipas mereka. Beberapa saat kemudian, kedua anak malang itu pun tersadar.
“Kita di mana? Kenapa berada di tempat ini?” tanya sang Kakak kepada adiknya.
“Kakek siapa?” tanyanya lagi ketika melihat seorang tua yang tak dikenalnya sedang duduk di samping mereka. “Tenang, Cucuku! Kakek yang telah membawa kalian ke tempat ini. Kakek menemukan kalian
sedang tergeletak tidak sadarkan diri di tengah hutan ini. Kalian siapa dan apa yang kalian lakukan di tempat ini?” tanya kakek itu.
Kedua anak malang itu pun menceritkan semua peristiwa yang mereka alami hingga mereka jatuh pingsan di tengah hutan. Karena iba setelah mendengar cerita mereka, kakek itu menyuruh mereka pergi ke sebuah tempat di mana terdapat banyak buah-buahan.
Setelah berterima kasih, kedua anak tersebut segera menuju ke arah rimbunan pohon. Betapa senangnya hati mereka ketika tiba di tempat yang dimaksud. Mereka mendapati beraneka jenis pohon yang sedang berbuah. Ada pohon durian, nangka, cempedak, mangga, dan pepaya.
Melihat banyak buah-buahan yang telah masak berserakan di bawah pohon itu, kedua anak itu segera memakannya dengan sepuas-puasnya hingga kenyang. Badan mereka pun kembali segar. Setelah itu, mereka kembali mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya dengan penuh semangat. Sebelum senja tiba, mereka telah berhasil mengumpulkan kayu sebanyak yang diminta ibu tiri mereka. Kayu-kayu tersebut mereka angkut sedikit demi sedikit pulang ke rumah. Setelah menyusun kayu-kayu di kolong rumah, mereka segera naik ke rumah ingin melapor kepada sang Ibu tiri. Betapa terkejutnya mereka ketika mendapati seluruh isi rumah telah kosong.
“Adikku! Ayah dan Ibu telah pergi meninggalkan kita! Lihatlah semua harta benda di rumah ini telah mereka bawa serta!” seru si anak laki-laki. Menyadari hal itu, si anak perempuan menjadi sedih dan menangis dengan sekeras-kerasnya. Ia sedih karena ia tahu bahwa ibu tirinya telah memengaruhi ayah mereka untuk pergi dari rumah. Tak berapa lama kemudian, para tetangganya pun berdatangan untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi.
“Hai, kenapa adikmu menangis?” tanya seorang warga. Si anak laki-laki pun menceritakan semua peristiwa yang mereka alami hingga ayah dan ibu tiri mereka pergi secara diam-diam. Mereka juga memberitahu kepada warga bahwa mereka bersikeras untuk pergi mencari orang tua mereka. Keesokan harinya, kedua anak malang itu berangkat mencari orang tua mereka. Beberapa tentangga yang iba memberi mereka bekal makanan di perjalanan.
Sudah dua hari kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan menyeberangi sungai, namun belum juga menemukan kedua orang tua mereka. Pada hari ketiga, tibalah mereka di tepi Sungai Mahakam. Mereka melihat asap api mengepul di sebuah pondok yang terletak di tepi sungai. Setibanya di sana, mereka mendapati seorang kakek sedang duduk-duduk di depan pondok. “Maaf, Kek! Boleh kami bertanya kepada Kakek,” sapa si anak laki-laki sambil memberi hormat kepada penghuni gubuk reot itu. “Apa yang bisa kubantu, cucuku?” tanya kakek itu.
“Maaf, Kek! Kami sedang mencari kedua orang tua kami. Apakah Kakek pernah melihat seorang laki-laki setengah bayah dan seorang perempuan yang masih muda lewat di sini?" Setelah terdiam sebentar sambil mengingat-ingat, kakek itu pun memberitahukan kepada mereka bahwa beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang lewat di tempat itu sambil membawa barang yang banyak. Bahkan, mereka sempat mampir di gubuk sang Kakek untuk meminta air minum, karena kehausan.
Kedua anak itu pun yakin bahwa kedua orang yang diceritakan sang Kakek tesebut adalah orang tua mereka. “Tidak salah lagi, mereka adalah orang tua kami, Kek!” seru kedua anak itu serentak. “Apakah Kakek tahu ke mana tujuan mereka?” tanya si anak laki-laki. “Kalau tidak salah, waktu itu mereka berkata akan menetap di seberang sungai sana,” jelas kakek itu. Mendengar penjelasan itu, kedua anak itu segera menuju ke seberang sungai dengan menggunakan perahu milik kakek itu. Setibanya di seberang sungai, mereka menemukan sebuah pondok kecil yang masih baru tidak jauh dari sungai.
Dari dalam pondok itu, asap api tampak mengepul. “Aku yakin, Ayah dan Ibu pasti ada di dalam pondok itu!” seru sang Kakak. “Kakak benar! Lihatlah baju yang di jemur di samping pondok itu. Bukankah itu baju Ayah yang dulu pernah Adik jahit?” kata sang Adik. Tanpa ragu lagi, kedua anak itu segera menghampiri pondok itu. “Ayah...! Ibu...! Kami datang!” seru sang Kakak. Berkali-kali mereka berteriak memanggil, namun tidak mendapat jawaban.
Akhirnya mereka memberanikan diri memasuki pondok itu. Alangkah senangnya hati mereka karena ternyata barang-barang yang terdapat di dalam pondok itu adalah milik ayah mereka. Melihat asap masih mengepul di dapur, sang Kakak segera memeriksanya, karena mengira kedua orang tua mereka sedang memasak di dapur. Namun, ketika masuk ke dapur, ia hanya mendapati sebuah panci berisi nasi yang sudah menjadi bubur di atas api.
Sepertinya, orang tua mereka terburu-buru saat akan meninggalkan pondok, sehingga lupa mengangkat panci tersebut. Karena kelaparan, sang Kakak langsung melahap nasi bubur yang masih panas tersebut. Tak lama kemudian, adiknya pun menyusul dan ikut melahap nasi bubur tersebut hingga habis. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba kedua anak itu merasakan sesuatu yang aneh. Suhu badan mereka tiba-tiba meningkat dan rasanya panas sekali bagaikan terbakar api.
Dengan panik, kedua anak itu berlari ke sana kemari mencari air untuk menyiram tubuh mereka. Semua air tempayan di pondok itu telah habis mereka gunakan, namun suhu badan justru semakin tinggi. Mereka pun segera berlari menuju ke sungai.
Setiap pohon pisang yang mereka temui di pinggir jalan mereka peluk untuk mendinginkan badan mereka. Namun, pohon-pohon pisang tersebut justru menjadi layu. Begitu tiba di tepi sungai, mereka langsung terjun ke dalam air.
Tak berapa lama kemudian, kedua anak itu menjelma menjadi dua ekor ikan yang kepalanya menyerupai kepala manusia. Sementara itu, ayah dan ibu tiri kedua anak itu baru saja pulang dari ladang. Betapa terkejutnya sang Ayah ketika masuk ke dalam pondoknya, ia menemukan sebuah bungkusan dan dua buah mandau milik anaknya.
Tanpa berpikir panjang, ia bergegas turun dari pondok untuk mencari kedua anaknya dengan mengikuti jalan menuju sungai. Setibanya di tepi sungai, ia melihat dua ekor ikan yang bergerak ke sana kemari di tengah sungai sambil sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Ketika ia akan memberitahukan hal itu kepada istrinya, ternyata sang Istri telah menghilang secara gaib.
Akhirnya, lelaki setengah baya itu pun sadar bahwa istri barunya itu bukanlah manusia biasa. Sang Istri memang tidak pernah menceritakan asal usulnya. Sang Ayah pun sangat menyesal karena telah menelantarkan kedua anaknya, sehingga berubah menjadi ikan. Mendengar kabar tersebut, penduduk di sekitarnya berbondong-bondong ke tepi Sungai Mahakam untuk menyaksikan kedua ekor ikan yang kepalanya mirip dengan kepala manusia tersebut. Mereka memperkirakan bahwa air semburan kedua makhluk tersebut sangat panas dan dapat mematikan ikan-ikan kecil di sekitarnya.
* * *
Demikian cerita Legenda Pesut Mahakam dari Kalimantan Timur. Oleh masyarakat Kutai, ikan penjelmaan kedua anak tersebut mereka namai ikan Pasut atau Pesut, sedangkan masyarakat di pedalaman Mahakam menamainya ikan Bawoi. Pesan moral yang terdapat dalam cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat orang tua yang suka menelantarkan anak-anaknya.
Hal ini digambarkan oleh sikap dan perilaku sang Ayah yang telah pergi meninggalkan kedua anaknya, karena lebih memilih istri barunya. Akibatnya, kedua anaknya terlantar dan berubah menjadi ikan Pesut. Dari sini dapat petik sebuah pelajaran bahwa berubahnya kedua anak tersebut menjadi seekor ikan adalah akibat kelalaian sang Ayah dalam melindungi dan menjaga mereka.
Dalam kehidupan orang Melayu, orang tua seperti ini disebut tidak tahu diri, tak bertanggungjawab, dan tak beradat, sehingga kelak di akhirat akan menanggung akibat kelalaiannya.
--Posted by - Cerita Rakyat Indonesia -
- Cerita Rakyat Indonesia - Updated at: 03.28